DEFINISI DAN UNSUR-UNSUR CERPEN DEFINISI DAN UNSUR-UNSUR CERPEN
Cerpen, banyak orang mengartikan cerpen hanya sebatas
cerita pendek. Pengertian cerita mungkin semua orang sudah mengetahui, tetapi
untuk pengertian pendek dalam “cerita pendek” sering terjadi kesimpangsiuran.
Pendek dalam cerita pendek bukan semata-mata ditujukan pada banyak sedikitnya
kata, kalimat, atau halaman yang digunakan untuk mengisahkan cerita. Pendek di
sini mengacu pada ruang lingkup permasalahan yang disampaikan oleh jenis karya
sastra ini. Oleh karena itu sangat memungkinkan sebuah cerita yang pendek tidak
bisa dikategorikan dalam jenis cerpen dan sebuah cerpen memiliki cerita yang
panjang.
Permasalahan yang diangkat dalam sebuah cerita umumnya
adalah kehidupan manusia dengan segala aspeknya. Banyak sekali aspek kehidupan
yang bisa terjadi dalam diri manusia dari dilahirkan sampai masuk dalam liang
kubur. Dengan banyaknya aspek kehidupan tersebut cerita yang bisa dikembangkan
pun sangat beragam pula dan cerpen sebagai salah satu bentuk karya sastra yang
menceritakan kehidupan manusia memiliki cakupan tersendiri yaitu hanya
menceritakan sebagian kecil saja kehidupan tokoh yang paling menarik. Dengan
adanya batasan yaitu bagian kecil dari kehidupan tokoh/manusia maka cerpen
memiliki keterpusatan perhatian/ cerita pada tokoh utama dan permasalahan yang
paling menonjol yang menjadi pokok cerita cerpen tersebut. Terpusat di sini
berarti tidak melebar terhadap permasalahan dan atau tokoh lain yang tidak
terlalu mendukung cerita / tidak bersangkutan dengan cerita. Sebuah cerpen
tidak mengenal degresi karena setiap bagian cerpen adalah pokok cerita yang
jika dihilangkan maka cerita akan menjadi timpang dan kacau.
Dari pemahaman tersebut dapat kita
simpulkan bahwa cerpen merupakan cerita yang mengisahkan sebagian kecil aspek
dalam kehidupan manusia yang diceritakan secara terpusat pada tokoh dan
kejadian yang menjadi pokok cerita.
Dari pengertian tersebut maka tidak menutup
kemungkinan sebuah cerpen memiliki jumlah kalimat atau halaman yang banyak
seperti karya sastra jenis novel. Sebagai contoh jenis cerita pendek yang
panjang misalnya, Sri Sumarah dan Bawuk karya Umar Kayam.
unsur- unsur intrinsik ialah unsur- unsur yang
membangun karya sastra dari dalam karya sastra itu sendiri. Maksud dari dalam
yaitu unsur tersebut masuk di dalam karya sastra itu sendiri. Secara umum
unsure intrinsik karya sastra termasuk cerpen mencakup tema, alur, penokohan,
latar, tegangan dan padahan, suasana, pusat pengisahan, dan gaya bahasa.
1. Tema
Tema merupakan dasar cerita yaitu pokok permasalahan
yang mendominasi suatu karya sastra (suharianto). Tema merupakan titik tolak
pengarang dalam menyusun karya sastranya. Tema ini merupakan hal yang ingin
disampaikan dan dipecahkan oleh pengarangnya melalui ceritanya. Tema menjadi
dasar pengembangan seluruh cerita, maka tema pun bersifat menjiwai seluruh bagian
cerita itu dari awal sampai akhir.
2. Alur Cerita
alur atau plot dapat didefinisikan sebagai cara
pengarang menjalin kejadian-kejadian secara beruntun dengan memperhatikan hukum
sebab akibat sehingga merupakan kesatuan yang padu, bulat, dan utuh (Suharianto).
Alur dalam cerita terdiri atas lima bagian, yaitu:
pemaparan/ pendahuluan, penggawatan, penanjakkan, puncak atau klimaks, dan
peleraian.
3. Penokohan
Cerita sastra merupakan cerita yang mengisahkan
kehidupan manusia dengan segala serbaneka kehidupannya. Dengan pemahaman
tersebut tentulah diwajibkan adanya tokoh sebagai perwujudan dari manusia dan
kehidupannya yang akan diceritakan. Tokoh dalam cerita ini akan melakukan
tugasnya menjadi “sumber cerita”. Tokoh merupakan benda hidup (manusia) yang memiliki
fisik dan memiliki watak. Penokohan
Penokohan sering juga disebut perwatakan, yaitu
pelukisan mengenai tokoh cerita. Pelukisan ini mencakup keadaan lahir dan batin
tokoh. Keadaan lahir merupakan bentuk jazad tokoh dan siapa tokohnya, keadaan
lahir mencakupi pandangan hidup tokoh, sikap tokoh, keyakinan, adat istiadat,
dll.
4. Latar
Segala peristiwa yang terjadi dalam kehidupan manusia
pasti tidak akan lepas dari ikatan ruang dan waktu. Begitu juga dalam cerpen ataupun novel yang mana itu merupakan penceritaan
kehidupan manusia dan segala permasalahanya. Tempat kejadian dan waktu kejadian
akan senantiasa menjalin setiap laku kehidupan tokoh dalam cerita. Dengan
demikian dapat diartikan bahwa latar adalah tempat dan atau waktu terjadinya
cerita.
Latar atau biasa juga disebut setting dalam karya
sastra prosa (cerpen dan novel) tidak hanya berfungsi sebagai penunjuk tempat
dan waktu cerita. Latar dalam karya sastra prosa ini juga dijadikan sebagai
tempat pengambilan nilai-nilai yang ingin diungkapkan pengarang dengan
ceritanya. Menurut Nurgiyantoro (2004:227—233) latar dapat dibedakan ke dalam
tiga unsur pokok, yaitu latar tempat, latar waktu, latar sosial.
5. Tegangan dan Padahan
Suspens atau tegangan merupakan bagian cerita yang
membuat pembaca terangsang untuk melanjutkan membaca cerita. Keingina tersebut
muncul karena pengarang seolah-olah menjanjikan pembaca akan menemukan sesuatu
yang pembaca harapkan. Sedangkan padahan atau foreshadowing merupakan bagian
cerita yang memberikan gambaran tentang sesuatu yang akan terjadi. Jadi padahan
dan tegangan adalah tidak dapat dipisahkan, dengan kata lain dengan adanya
padahan maka tercipta tegangan.
6. Suasana
Seperti halnya waktu dan tempat pada sebuah cerita,
suasana juga merupakan sebuah hal yang selalu mengiringi suatu kejadian.
Suasana dapat diartikan sebagai segala peristiwa yang dialami yang dialami oleh
tokoh pada suatu cerita. Misalnya suasana menyedihkan, menyenangkan dan lain
sebagainya.
7. Pusat Pengisahan
Cerita merupakan gambaran yang menampilkan
perikehidupan tokoh. Penempatan posisi pengarang terhadap tokoh untuk
menampilkan cerita mengenai perikehidupan tokoh dalam cerita itulah yang
dinamakan pusat pengisahan (point of view) atau kadang disebut juga sudut
pandang. Secara umum pusat pengisahan dikategorikan dalam 4 jenis, yaitu
Pengarang sebagai pelaku utama cerita, pengarang ikut bermain tetapi bukan
sebagai tokoh utama, pengarang serba hadir, dan pengarang peninjau.
8. Gaya Bahasa
Bahasa dalam karya sastra prosa (cerpen dan novel)
memiliki fungsi ganda yaitu sebagai penyampai maksud pengarang dan sebagai
penyampai perasaan. Pengarang dalam membuat karya sastra bukan hanya sebatas
ingin memberitahu pembaca akan apa yang dialami tokoh, namun pengarang juga
bermaksud mengajak pembaca merasakan apa saja yang dialami oleh tokoh dalam
cerita. Karena keinginan inilah gaya bahasa yang digunakan dalam karya sastra
sering berbeda dengan gaya bahasa pada kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain
gaya bahasa dapat diartikan sebagai cara (berbahasa) yang ditempuh penulis
untuk menyampaikan pikiran atau maksud.
Jenis Resensi
Saryono
(1997:61—63) membagi resensi buku berdasarkan sudut pandang atau sudut
tinjauannya. Sudut pandang atau sudut tinjauannya yang digunakan adalah resensi
berdasarkan media atau forum atau sajiannya dan resensi berdasarkan isi resensi
atau isi sajiannya. Berdasarkan media atau forumnya, resensi buku dibagi
menjadi (1) resensi ilmiah dan (2) resensi ilmiah populer.
Hal yang
membedakan kedua resensi tersebut adalah bahasa dan tata cara penulisan yang
digunakan. Dalam resensi ilmiah digunakan tata cara keilmuan tertentu, menggunakan
rujukan atau acuan, dan bahasa resmi dan baku serta yang dipaparkan
selengkap-lengkapny a. Sementara itu, resensi ilmiah populer tidak mengguakan
rujukan atau acuan tertentu. Selain itu, isi resensi seringnya hanya memaparkan
bagian-bagian yang menarik saja. Penyajiannya pun tidak terlalu tunduk pada
bahasa resmi atau baku.
Berdasarkan
isi sajian atau isi resensinya, resensi buku digolongkan menjadi (1) resensi
informatif, (2) resensi evaluatif, dan (3) resensi informatif-evaluati f.
Resensi informatif hanya berisi informasi tentang hal-hal penting dari suatu
buku. Pada umumnya, isi resensi informatif hanya ringkasan dan paparan mengenai
apa isi buku atau hal-hal yang bersangkutan dengan suatu buku.
Resensi
evaluatif lebih banyak menyajikan penilaian peresensi tentang isi buku atau
hal-hal yang berkaitan dengan buku. Informasi tentang isi buku hanya disajikan
sekilas saja, bahkan kadang-kadang hanya dijadikan ilustrasi. Sementara itu,
resensi informatif-evaluati f merupakan perpaduan dua jenis resensi tersebut.
Resensi jenis ini di samping menyajikan semacam ringkasan buku atau hal-hal
penting yang ada di buku juga menyajikan penilaian peresensi tentang isi buku.
Resensi jenis ketigalah yang dapat dikatakan paling ideal karena bisa
memberikan laporan dan pertimbangan secara memadai.
Selain jenis
resensi di atas, masih terdapat jenis resensi yang lain. Hal ini diungkapkan
oleh Samad (1997) yang membagi resensi menjadi dua jenis, yaitu resensi buku
nonsastra dan resensi buku sastra. Dilihat dari namanya, jenis yang pertama
pastilah membahas, memaparkan, dan menilai buku-buku nonsastra. Resensi buku
nonsastra bisa disajikan secara informatif, evaluatif atau informatif-evaluati
f. Meresensi buku sastra hampir menyerupai dengan mengapresiasi karya sastra.
Hal ini disebabkan materi atau unsur-unsur yang membangun karya sastra berbeda
dengan buku nonfiksi.
Di dalam
buku sastra (karya sastra) terdapat unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Kedua
hal inilah yang menjadi sorotan utama dalam menilai buku sastra. Dalam
meresensi buku sastra, seorang peresensi harus bisa menyimak nilai kehidupan
yang termuat dalam karya sastra tersebut. Seorang peresensi juga harus dapat
menyampaikan dua lapisan penilaian atau pertimbangan, yakni nilai literer dan
manfaat untuk hidup. Nilai literer terungkap dari kegiatan mengapresiasi karya
sastra tersebut dan manfaat untuk hidup terungkap dari apresiasinya atas
kebutuhan masyarakat.
Comments
Post a Comment